Cerita Pendek Alimuddin
Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung.
Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintahan. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati—wanita yang tidak mau dijajah.
Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak kuasa meredam rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupa, tapi tidak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat di otaknya.
Bocah kecil ribut di pekarangan rumoh. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai buah masak yang ada di ujung.
Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana sudah perginya. Kanot air di tungku api. Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punya-nya dan masyik. Dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke meunasah. Bocah-bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat.
"Ka damai geutanyoe, Da," tegur istri Tengku Banta kepada melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki.
Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk Safrida.
Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan meunasah.
Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara mengaji si Suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi.
Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya hari itu adalah hari kelabu untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula dari hari itu.
Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu. Desiran angin menggigil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya.
"Mau ke mana, Da?" tanya itu berasal dari lelaki yang berseberangan di jalan dengan Safrida.
Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dan tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar suara itu. Bahkan semenjak dahulu.
"Mau ke meunasah," Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.
Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung.
Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah.
Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang baru saja selesai mandi ikut merunduk di sampingnya. Mak dan Masyik entah di sumur, entah pula di rumoh dapu?
Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti rentetan senapan tak berhenti. Memekakkan telinga. Menciutkan nyali. Merasai ajal itu seperti di depan gerbang.
Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke sekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor.
Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu.
Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari cengkeramnya.
"Sudah cukup mandi jih mak..."
"Bacut lagi, mantong kalang nyoe," tangan Sakdiah menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan 'geli...geli...'
Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak Safrida. Di kampungnya, semua perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak satu pun pria yang mau memperistri dirinya. Padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu.
"Sudah teken damai Da, ya?" Sakdiah akan pulang. Bocah yang digendong mencium muka Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu beringsut lega.
Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur. Pekerjaan itu sungguh muda bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata berat dahulunya.
Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi.
Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi dan hitam keling meminta KTP Bapak.
"Kau GAM, ya?" bentak tentara itu kasar.
"Bukan Pak, saya ini rakyat biasa," Bapak tampak gentar.
"Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!" sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya.
"Periksa rumah ini!"
Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja kerjanya!
Lamban sekali kerja Safrida. Sudah lama di sumur, baru dua potong baju yang siap disikat. Lamunannya entahlah ke mana.
Sebagian tentara pergi ke rumah samping, ke rumah Wa Ali. Suara mereka keras dan kasar sampai kedengaran ke rumoh Safrida.
"Ada GAM di sini...!" Teriakan itu bagai halilintar di telinga Safrida. Dan...
"Dor...Dor..." tubuh Bapak bersimbah darah. Dua pelor menembus kepala lelaki itu. Tanpa bertanya terlebih dahulu.
"Bapak...Bapak..." Mak histeris.
"Dor...Dor...." Mak terkulai tak berdaya. Tembakan di mana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida.
"Masyik...Masyik...." Ronta Safrida.
"Beuk kapeulaku cucoe long...." Masyik berusaha menarik tubuh cucunya itu. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, langsung terjungkang ke tanah.
"Kamu cantik juga, ya?" tentara itu membabi buta.
"Bek...Bek...." Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret ke semak-semak.
"Barang bagus, ya?"
"Ya nih...Tapi aku duluan ya...Ha...ha..." Setan itu terpingkal-pingkal.
"Ayo sayang..."
"Jangan...." Safrida menjerit panjang. Tak ada penolongnya.
Safrida menimba lagi air di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya.
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh di depan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.
Tapi, suatu hari datang panglima GAM ke kampung. Berapi-api menerangkan jikalau orang kampung tak boleh tinggal diam. Hati Safrida panas bukan main. Dendamnya membara. Ia ingin menuntut balas.
Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu diubah. Tak lagi inong balee, tapi Askariyah.
Berbulan-bulan Safrida di gunung. Tiap hari latihan berat. Tangannya kasar bukan main. Mengokang senjata bukan hal baru. Sudah mahir menggunakan senjata.
Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering terlibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat bila ingat wajah Mak dan Bapak.
Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintahan. Wajahnya yang memikat tak jarang jadi tameng. Digoda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni setiba di sana. Bukan sekali-dua kali berhasil menyisipkan bom di pos tanpa dicurigai sedikit pun.
Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi.
Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur. Seolah tangannya gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintahan sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah.
Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan. Mata Safrida menengadah ke langit. Ia waswas bila hujan turun.
Keadaan terdesak. Panglima Sagoe Manyak payed, Galinggeng, menyerahkan diri ke pasukan RI. Safrida tak bisa percaya itu! Padahal Safrida lagi semangat-semangatnya. Kata panglima sagoe, perjuangan GAM sudah melencang dari syariat. Ah, benarkah itu? tanya hati Safrida.
Safrida dan anak buah Askariyahnya dalam posisi terjepit. Tertangkap tinggal menunggu waktu. Bencana. Galinggeng pasti akan memberitahukan tempat persembunyian mereka. Safrida kalut tak terkira. Akhirnya mereka ikut menyerah. Tapi dendam kesumat tak raib. Bagusnya menyerahkan diri, ia dan anak buahnya itu dibebaskan beberapa minggu kemudian. Dikembalikan ke kampung masing-masing dengan penjagaan ketat.
Rosmawati lewat dengan menggamit lengan dua anaknya. Kembali Safrida menyaksikan kejadian itu dengan menelan ludah. Enak sekali bisa menjadi ibu dan punya anak, lirihnya. Nampak Safrida di sumur, Rosmawati berhenti di balik pagar dan menyapa.
"Aceh ka damai Da, seunang that hatee long...."
Rosmawati melempar senyum dan berlalu karena anaknya merengek minta dibelikan kue. Kepala Safrida terangguk paksa, tapi hati dan jiwa menolak keras. Ini tak damai untuk Safrida! Damai ini tak berarti apa-apa.
Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini tak bisa membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang diidamkan lama. Enak saja pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik semula.
Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya yang sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis?
Damai itu hanya di selembar atau beberapa kertas. Sementara perih jiwa di sekujur tubuh. Sembuhkan luka itu? Safrida bisakah berdamai dengan duka di sekujuran tubuh?
Safrida akan menjemur baju di pagar besi meunasah. Terdengar suara-suara tertawa dari keudee Tengku Banta Manyang. Langit kian kelam. Tak lama, butiran menitik satu persatu. Safrida cemas. Bajunya alamat tak kering. ***
Catatan:
- Askariyah : Sebutan pasukan perempuan GAM. Pada awalnya dinamakan Inong Balee, tapi belakangan, karena anggota dari pasukan ini bukan berasal dari inong balee saja (janda), tapi juga banyak gadis-gadis, makanya namanya diganti menjadi askariyah.
- rumoh inong: Rumoh Inong (rumah induk). Letak ruangan ini adalah di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.
- keudee: Kedai.
- beranti-anti: saling rebut-rebutan.
- kanot: panci.
- Ka damai geutanyoe, Da: Sudah damai, kita Da
- Bacut lagi, mantong kalang nyoe: Sedikit lagi, masih banyak dakinya.
- Rumoh dapu: Rumoh-dapu (dapur). biasanya, letak dapur pada rumah tradisional Aceh itu berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.
- u: ke.
- Aceh ka damai Da, seunang that hatee long: Sudah damai Aceh Da, senang sekali hatiku.
- Seulasa: Teras.
- Krong padee: Lumbung padi—tempat penyimpanan padi dan lazimnya terletak di bagian bawah rumoh Aceh.
Bookmarks
Categories
- TELEMATIKA (1)
- TUGAS 3 (1)
- Tugas Analisis Kerja Sistem] Cara membuat WBS (1)
- TUGAS KE -2 (1)
- TUGAS KETIGA (1)
Our Partners
Mengenai Saya
Pengikut
Jumat, 15 April 2011
Mawar Biru Untuk Novia
Published :
09.41
Author :
yusufjuliansyah
Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Bukan dalam mimpi?”
“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
“Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.
“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
“Tapi, Novia pernah melihatnya.”
“Bunga kertas kali!”
“Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”
“Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
“Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.”
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.
***
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”
Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.
***
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
Pamulang, April 2004
UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Bukan dalam mimpi?”
“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
“Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.
“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
“Tapi, Novia pernah melihatnya.”
“Bunga kertas kali!”
“Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”
“Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
“Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.”
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.
***
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”
Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.
***
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
Pamulang, April 2004
Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja
Published :
09.39
Author :
yusufjuliansyah
Cerita Pendek AM Lilik Agung
Bursa Efek Jakarta, Tower 2 lobi depan. Jam 7 pagi. Manusia-manusia global penghuni kompleks perkantoran masih terbenam di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas. TransJakarta yang penuh sesak. Three in one nan menyebalkan akibat dari sebuah metropolitan yang ketinggalan dalam sistem transportasi umum. Akhirnya menyisakan satu pilihan: macet di jalan atau berangkat pagi-pagi. Kupilih pilihan kedua, berangkat pagi-pagi. Lebih baik pagi datang ke kantor ketimbang dihajar kemacetan yang semakin luar biasa di Ibukota sebuah negeri elok bernama Jakarta .
Starbucks Coffee menyempil di Tower 2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster ' the world history of coffee ." Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya.
Lalu ritual pagi semakin eksotik ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan.
Seperti pagi ini. Blouse hitam berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong tiramisu. Anna menelanjangi wajahku.
"Matamu masih merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu menyelamatkan kantukmu?" Anna membuka ritual percakapan pagi.
" The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya semalaman harus menyelesaikannya," kusebut buku terbaru karya sastrawati besar India . "Dua anak keturunan India - laki-laki dan perempuan - yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh luar biasa."
"Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva." Anna melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya.
"Bukan hanya Divakaruni yang hebat. Prakash Rham juga luar biasa." Anna menyebut nama bosnya,"Saking hebatnya Rham, sampai-sampai perusahaan memberi dia rumah mewah di Permata Hijau dan Jaguar keluaran terbaru." Kali ini Anna menyindir bosnya. Alis matanya menaik. Tanda kata-katanya belum selesai. Kutunggu lanjutan kalimatnya.
"Tapi mau apa lagi. Kapitalis-kapitalis global itu tetap lebih mempercayai orang-orang Asia Tengah dan Asia Timur ketimbang manusia-manusia lokal. Yah nasib warga negara dari sebuah negeri yang eksekutif dan legislatifnya selalu berkelahi."
"Berkelahi itu bagian dari demokrasi, Saudariku. Apalagi demokrasi yang masih seumuran jagung. Tapi lumayanlah, ketimbang masa lalu. Legislatifnya mati di ketiak eksekutif," aku berucap. Cangkir berisi espresso kuraih. Kunikmati tiga tegukan. Pembicaraan kemudian beralih. Dari sastra menjadi politik.
"O ya, sekarang ada rumor ampuh yang ramai didiskusikan orang. Pemberantasan korupsi beserta produk-produk turunannya," kulanjutkan kalimatku, "Pembentukan komisi antikorupsi, kampanye polisi bersih, mengganyang mafia peradilan hingga memindah koruptor ke Nusakambangan."
"Terlalu banyak program, Bung. Satu saja, fokus; kampanye polisi bersih. Hong Kong 25 tahun lalu mirip negeri ini. Banyak koruptor. Bertumbuh preman-preman berdasi. Kolusi penguasa dan mafia. Sampai penyelundupan yang direstui. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Hong Kong ? Fokus pada satu hal, mencetak polisi bersih." Anna menimpali.
"Analisismu luar biasa, kawan. Polisi Hong Kong sekarang merupakan polisi paling ramah di seluruh jagat."
Espresso tinggal sepertiga cangkir. Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai berikut, di lantai 27. Di sini kantorku.
Laptop kunyalakan. Jaringan internet kupasang. Memeriksa puluhan e-mail . Sebagian besar e-mail sampah. Sisanya e-mail yang layak dibaca dan dibalas. Setengah jam berikut, Tini, sekretarisku, membawa guntingan koran. Ada sepuluh kliping berita dan analisis. Semuanya tentang saham dan keuangan. Kuamati satu analisis. Kubaca judul tulisannya, "Merekayasa Laporan Keuangan: Tanggapan Atas Tulisan Agung Kusuma." Lalu kupelototi penulisnya, Anna K Wijayanti.
Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Menanggapi analisisku. Analisis tentang penggorengan saham yang dilakukan oleh perusahaan kliennya. Kuserang habis perusahaan klien Anna. Kutelanjangi intrik-intrik laporan keuangannya. Kubeberkan perkembangan nilai-nilai sahamnya yang nyaris tidak masuk akal. Pagi ini, gantian Anna membela habis-habisan kliennya. Bahkan pada tulisannya, aku disebut analis kacangan yang cuma mencari sensasi murahan. Lalu ditutup dengan kalimat pendek namun amat tajam. "Beginilah kalau tukang kayu mencoba menjadi pemain saham. Semua dianggap sebagai paku." Wow, luar biasa tanggapan wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya.
Tulisan Anna kusimpan di laci. Nanti sore akan kubuat tulisan untuk menanggapi ulang analisis Anna. Kuraih guntingan koran lainnya. Kali ini direktur utama perusahaan yang kutelanjangi laporan keuangannya angkat bicara. Kulihat fotonya dengan jajaran direksi lain. Membuat konferensi pers. Isinya tunggal; menuntut aku.
Tulisan-tulisanku tentang perusahaannya dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Harga saham perusahaan yang dalam seminggu terakhir meluncur jatuh dianggap karena ulahku. Aku dituntut mengganti rugi sebesar 100 miliar rupiah. Wah, luar biasa tuntutan perusahaan klien wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya. Dari mana akan kututup uang tuntutan sebesar itu?
Sejenak berikut HP-ku berdering. Dari penyiar televisi. Katanya mau mewancarai aku. Tentang tuntutan perusahaan klien Anna. Jam dua belas tiga puluh wawancaranya. Kusetujui.
Kliping koran selesai terbaca. Laptop yang tadi sibuk dengan e-mail sekarang berganti dengan angka-angka saham. Harga saham perusahaan klien Anna semakin meluncur. Aku tersenyum. Aku berkelana memelototi saham lainnya. A ha , ini dia saham incaranku. Perusahaan milik negara yang sedang sibuk dengan pergantian direksi. Bukan karena direksi lama tidak becus. Tetapi ada pergantian penguasa. Direksi lama yang tidak punya cantolan politik terpaksa dilengserkan oleh penguasa baru. Saat yang tepat untuk membeli saham.
Segera kuhubungi Daniel, mitraku. Dalam percakapan singkat langsung terjadi kesepakatan; memborong saham perusahaan itu. Tugas Daniel berikutnya menggoyang lantai bursa dengan rumor-rumor tentang direksi baru perusahaan milik negara itu. Ketika rumor sedang panas-panasnya, saat tepat untuk menjual saham. Tentu dengan harga yang berlipat-lipat. Luar biasa, dalam sekejap perusahaanku akan mendapat keuntungan mahabesar.
Jam dua belas lebih tiga puluh. Aku sudah di depan kamera tivi. Membeberkan tentang skandal keuangan besar di tahun ini. Angka-angka ajaib laporan keuangan dari perusahaan klien Anna. Harga saham yang aneh. Setiap jam empat lebih lima puluh menit di hari Jumat pasti harga sahamnya terkerek tinggi. Aneh ini. Sepuluh menit lagi bursa saham di tutup. Kok selalu terjadi jual beli dengan angka fantastis.
Tiga puluh menit di layar kaca. Bertubi-tubi telepon datang ke redaktur televisi. Sebagian besar memuji analisisku. Sebagian kecil memaki. Para pemaki ini pasti gerombolan manajemen perusahaan itu. Kemungkinan besar Anna ikut memaki aku. Kubayangkan bibir Anna marah-marah di ujung telepon. Kuimajinasikan wajah cantik Anna berubah buas memaki-maki aku. Ah, memaki pun Anna masih tetap ayu.
Jam dua aku sudah terbenam dalam angka-angka saham. Segepok saham berinisial ATK masih tergenggam di tanganku. Kuajak diskusi Daniel. Kata Daniel, simpan dulu saham ATK. Dua hari lagi pasti akan terkerek harganya. Daniel, kupercayai nasihatnya. Jam tiga sore, tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk di lantai bursa. Harga saham ATK yang aku kuasai dalam sekejap meluncur jatuh. Dari nilai Rp 1.575 turun tiga ratus poin menjadi Rp 1.275. Aku gelagapan. Nyaris berteriak. Semakin sore, mendekati penutupan, saham ATK semakin sakit. Lalu di ujung penutupan bursa, saham ATK terjun bebas sebanyak 520 poin. Harga saham menjadi Rp 1.055 per lembar saham. Imajinasi otakku langsung menghitung, ratusan juta melayang.
Aku tepekur diam. Tanpa ekspresi. Nyaris mati. Kubiarkan Daniel yang mencoba membuat seribu alasan. Ratusan juta hilang dalam sekejap. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan peristiwa ini ke kantor pusat di New York sana ?
Pikiranku kacau. Metabolisme di tubuhku tidak karu-karuan. Lunglai. Sebelum akhirnya sebuah suara keluar dari HP-ku. Suara wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya, " Frappucino cream atau iced latte ? Jangan dijajah pekerjaan. Kutunggu kau di Starbucks."
" Iced latte !" segera kusahut suara Anna. Kuangkat tubuh. Kulangkahkan kaki. Di Starbucks Coffee, Anna sudah menunggu. Terhidang satu frappucino cream . Satu lagi iced latte .
" Ada film bagus. Bintangnya Tom Cruise. The Collateral . Kau sudah nonton?" tanpa ditunggu Anna sudah membuka bibir begitu aku menaruh tubuh di hadapannya.
"Belum. Hanya membaca resensinya saja.," langsung kuteguk iced latte . Senja hari. Apa yang lebih eksotik dibanding secangkir iced latte dan ditemani gadis ayu cerdas bernama Anna Karenina?
"Sayang Tom Cruise tidak mendulang Oscar di film itu. Oh ya, tadi aku diberi buku kumpulan puisi. Kekasihku . Penulisnya satrawan lokal, Joko Pinurbo. Sudah baca?" Anna bertanya. Kugelengkan kepala. Lalu dikais isi laptop- nya. Buku warna hijau. Diserahkan kepadaku. Joko Pinurbo, sastrawan generasi baru nan luar biasa. Kulahap beberapa puisinya.
Senja semakin merangkak. Mentari menghilang berganti bulan. Bintang-bintang di langit bermunculan. Jam mendekati angka tujuh. Kuselesaikan iced latte -ku.
"Anna, sudah jam tujuh. Three in one berakhir. Kita teruskan ngobrolnya besok pagi. Malam ini ada tulisan yang harus aku selesaikan. Terima kasih iced latte -nya," aku mengangkat tubuh. Sejenak kutatap Anna. Kusalami tangannya. Lalu kuangkat kaki. Dua langkah dari kursi, tiba-tiba Anna sedikit berseru. Kuhentikan langkah. Kubalikkan badan.
"Hari ini sahammu hancur. Aku yang menghancurkan. Hari ini kamu kalah," Anna menelanjangi wajahku."
"Dugaanku begitu. Pasti kamu yang melakukan. Hari ini aku memang kalah. Lalu?" kutanya Anna.
"Orang kalah layak dihukum."
Kubalikkan tubuh lagi,"Apa hukumannya?"
Anna menelan ludah. Menelanjangi wajahku. Lalu bibirnya terbuka. Berbisik. Sebuah bisikan yang sudah lama aku tunggu-tunggu.
"Malam ini, kau dihukum untuk menemani tidurku...."
Anna Karenina Wijayanti. Hari ini menjadi pemenang. Pemenang yang menghukum pecundang. Sebuah hukuman nan elok. Akan kujalani hukuman itu.
Lippo Karawaci, menjelang ulang tahun 2005
Bursa Efek Jakarta, Tower 2 lobi depan. Jam 7 pagi. Manusia-manusia global penghuni kompleks perkantoran masih terbenam di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas. TransJakarta yang penuh sesak. Three in one nan menyebalkan akibat dari sebuah metropolitan yang ketinggalan dalam sistem transportasi umum. Akhirnya menyisakan satu pilihan: macet di jalan atau berangkat pagi-pagi. Kupilih pilihan kedua, berangkat pagi-pagi. Lebih baik pagi datang ke kantor ketimbang dihajar kemacetan yang semakin luar biasa di Ibukota sebuah negeri elok bernama Jakarta .
Starbucks Coffee menyempil di Tower 2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster ' the world history of coffee ." Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya.
Lalu ritual pagi semakin eksotik ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan.
Seperti pagi ini. Blouse hitam berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong tiramisu. Anna menelanjangi wajahku.
"Matamu masih merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu menyelamatkan kantukmu?" Anna membuka ritual percakapan pagi.
" The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya semalaman harus menyelesaikannya," kusebut buku terbaru karya sastrawati besar India . "Dua anak keturunan India - laki-laki dan perempuan - yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh luar biasa."
"Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva." Anna melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya.
"Bukan hanya Divakaruni yang hebat. Prakash Rham juga luar biasa." Anna menyebut nama bosnya,"Saking hebatnya Rham, sampai-sampai perusahaan memberi dia rumah mewah di Permata Hijau dan Jaguar keluaran terbaru." Kali ini Anna menyindir bosnya. Alis matanya menaik. Tanda kata-katanya belum selesai. Kutunggu lanjutan kalimatnya.
"Tapi mau apa lagi. Kapitalis-kapitalis global itu tetap lebih mempercayai orang-orang Asia Tengah dan Asia Timur ketimbang manusia-manusia lokal. Yah nasib warga negara dari sebuah negeri yang eksekutif dan legislatifnya selalu berkelahi."
"Berkelahi itu bagian dari demokrasi, Saudariku. Apalagi demokrasi yang masih seumuran jagung. Tapi lumayanlah, ketimbang masa lalu. Legislatifnya mati di ketiak eksekutif," aku berucap. Cangkir berisi espresso kuraih. Kunikmati tiga tegukan. Pembicaraan kemudian beralih. Dari sastra menjadi politik.
"O ya, sekarang ada rumor ampuh yang ramai didiskusikan orang. Pemberantasan korupsi beserta produk-produk turunannya," kulanjutkan kalimatku, "Pembentukan komisi antikorupsi, kampanye polisi bersih, mengganyang mafia peradilan hingga memindah koruptor ke Nusakambangan."
"Terlalu banyak program, Bung. Satu saja, fokus; kampanye polisi bersih. Hong Kong 25 tahun lalu mirip negeri ini. Banyak koruptor. Bertumbuh preman-preman berdasi. Kolusi penguasa dan mafia. Sampai penyelundupan yang direstui. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Hong Kong ? Fokus pada satu hal, mencetak polisi bersih." Anna menimpali.
"Analisismu luar biasa, kawan. Polisi Hong Kong sekarang merupakan polisi paling ramah di seluruh jagat."
Espresso tinggal sepertiga cangkir. Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai berikut, di lantai 27. Di sini kantorku.
Laptop kunyalakan. Jaringan internet kupasang. Memeriksa puluhan e-mail . Sebagian besar e-mail sampah. Sisanya e-mail yang layak dibaca dan dibalas. Setengah jam berikut, Tini, sekretarisku, membawa guntingan koran. Ada sepuluh kliping berita dan analisis. Semuanya tentang saham dan keuangan. Kuamati satu analisis. Kubaca judul tulisannya, "Merekayasa Laporan Keuangan: Tanggapan Atas Tulisan Agung Kusuma." Lalu kupelototi penulisnya, Anna K Wijayanti.
Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Menanggapi analisisku. Analisis tentang penggorengan saham yang dilakukan oleh perusahaan kliennya. Kuserang habis perusahaan klien Anna. Kutelanjangi intrik-intrik laporan keuangannya. Kubeberkan perkembangan nilai-nilai sahamnya yang nyaris tidak masuk akal. Pagi ini, gantian Anna membela habis-habisan kliennya. Bahkan pada tulisannya, aku disebut analis kacangan yang cuma mencari sensasi murahan. Lalu ditutup dengan kalimat pendek namun amat tajam. "Beginilah kalau tukang kayu mencoba menjadi pemain saham. Semua dianggap sebagai paku." Wow, luar biasa tanggapan wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya.
Tulisan Anna kusimpan di laci. Nanti sore akan kubuat tulisan untuk menanggapi ulang analisis Anna. Kuraih guntingan koran lainnya. Kali ini direktur utama perusahaan yang kutelanjangi laporan keuangannya angkat bicara. Kulihat fotonya dengan jajaran direksi lain. Membuat konferensi pers. Isinya tunggal; menuntut aku.
Tulisan-tulisanku tentang perusahaannya dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Harga saham perusahaan yang dalam seminggu terakhir meluncur jatuh dianggap karena ulahku. Aku dituntut mengganti rugi sebesar 100 miliar rupiah. Wah, luar biasa tuntutan perusahaan klien wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya. Dari mana akan kututup uang tuntutan sebesar itu?
Sejenak berikut HP-ku berdering. Dari penyiar televisi. Katanya mau mewancarai aku. Tentang tuntutan perusahaan klien Anna. Jam dua belas tiga puluh wawancaranya. Kusetujui.
Kliping koran selesai terbaca. Laptop yang tadi sibuk dengan e-mail sekarang berganti dengan angka-angka saham. Harga saham perusahaan klien Anna semakin meluncur. Aku tersenyum. Aku berkelana memelototi saham lainnya. A ha , ini dia saham incaranku. Perusahaan milik negara yang sedang sibuk dengan pergantian direksi. Bukan karena direksi lama tidak becus. Tetapi ada pergantian penguasa. Direksi lama yang tidak punya cantolan politik terpaksa dilengserkan oleh penguasa baru. Saat yang tepat untuk membeli saham.
Segera kuhubungi Daniel, mitraku. Dalam percakapan singkat langsung terjadi kesepakatan; memborong saham perusahaan itu. Tugas Daniel berikutnya menggoyang lantai bursa dengan rumor-rumor tentang direksi baru perusahaan milik negara itu. Ketika rumor sedang panas-panasnya, saat tepat untuk menjual saham. Tentu dengan harga yang berlipat-lipat. Luar biasa, dalam sekejap perusahaanku akan mendapat keuntungan mahabesar.
Jam dua belas lebih tiga puluh. Aku sudah di depan kamera tivi. Membeberkan tentang skandal keuangan besar di tahun ini. Angka-angka ajaib laporan keuangan dari perusahaan klien Anna. Harga saham yang aneh. Setiap jam empat lebih lima puluh menit di hari Jumat pasti harga sahamnya terkerek tinggi. Aneh ini. Sepuluh menit lagi bursa saham di tutup. Kok selalu terjadi jual beli dengan angka fantastis.
Tiga puluh menit di layar kaca. Bertubi-tubi telepon datang ke redaktur televisi. Sebagian besar memuji analisisku. Sebagian kecil memaki. Para pemaki ini pasti gerombolan manajemen perusahaan itu. Kemungkinan besar Anna ikut memaki aku. Kubayangkan bibir Anna marah-marah di ujung telepon. Kuimajinasikan wajah cantik Anna berubah buas memaki-maki aku. Ah, memaki pun Anna masih tetap ayu.
Jam dua aku sudah terbenam dalam angka-angka saham. Segepok saham berinisial ATK masih tergenggam di tanganku. Kuajak diskusi Daniel. Kata Daniel, simpan dulu saham ATK. Dua hari lagi pasti akan terkerek harganya. Daniel, kupercayai nasihatnya. Jam tiga sore, tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk di lantai bursa. Harga saham ATK yang aku kuasai dalam sekejap meluncur jatuh. Dari nilai Rp 1.575 turun tiga ratus poin menjadi Rp 1.275. Aku gelagapan. Nyaris berteriak. Semakin sore, mendekati penutupan, saham ATK semakin sakit. Lalu di ujung penutupan bursa, saham ATK terjun bebas sebanyak 520 poin. Harga saham menjadi Rp 1.055 per lembar saham. Imajinasi otakku langsung menghitung, ratusan juta melayang.
Aku tepekur diam. Tanpa ekspresi. Nyaris mati. Kubiarkan Daniel yang mencoba membuat seribu alasan. Ratusan juta hilang dalam sekejap. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan peristiwa ini ke kantor pusat di New York sana ?
Pikiranku kacau. Metabolisme di tubuhku tidak karu-karuan. Lunglai. Sebelum akhirnya sebuah suara keluar dari HP-ku. Suara wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya, " Frappucino cream atau iced latte ? Jangan dijajah pekerjaan. Kutunggu kau di Starbucks."
" Iced latte !" segera kusahut suara Anna. Kuangkat tubuh. Kulangkahkan kaki. Di Starbucks Coffee, Anna sudah menunggu. Terhidang satu frappucino cream . Satu lagi iced latte .
" Ada film bagus. Bintangnya Tom Cruise. The Collateral . Kau sudah nonton?" tanpa ditunggu Anna sudah membuka bibir begitu aku menaruh tubuh di hadapannya.
"Belum. Hanya membaca resensinya saja.," langsung kuteguk iced latte . Senja hari. Apa yang lebih eksotik dibanding secangkir iced latte dan ditemani gadis ayu cerdas bernama Anna Karenina?
"Sayang Tom Cruise tidak mendulang Oscar di film itu. Oh ya, tadi aku diberi buku kumpulan puisi. Kekasihku . Penulisnya satrawan lokal, Joko Pinurbo. Sudah baca?" Anna bertanya. Kugelengkan kepala. Lalu dikais isi laptop- nya. Buku warna hijau. Diserahkan kepadaku. Joko Pinurbo, sastrawan generasi baru nan luar biasa. Kulahap beberapa puisinya.
Senja semakin merangkak. Mentari menghilang berganti bulan. Bintang-bintang di langit bermunculan. Jam mendekati angka tujuh. Kuselesaikan iced latte -ku.
"Anna, sudah jam tujuh. Three in one berakhir. Kita teruskan ngobrolnya besok pagi. Malam ini ada tulisan yang harus aku selesaikan. Terima kasih iced latte -nya," aku mengangkat tubuh. Sejenak kutatap Anna. Kusalami tangannya. Lalu kuangkat kaki. Dua langkah dari kursi, tiba-tiba Anna sedikit berseru. Kuhentikan langkah. Kubalikkan badan.
"Hari ini sahammu hancur. Aku yang menghancurkan. Hari ini kamu kalah," Anna menelanjangi wajahku."
"Dugaanku begitu. Pasti kamu yang melakukan. Hari ini aku memang kalah. Lalu?" kutanya Anna.
"Orang kalah layak dihukum."
Kubalikkan tubuh lagi,"Apa hukumannya?"
Anna menelan ludah. Menelanjangi wajahku. Lalu bibirnya terbuka. Berbisik. Sebuah bisikan yang sudah lama aku tunggu-tunggu.
"Malam ini, kau dihukum untuk menemani tidurku...."
Anna Karenina Wijayanti. Hari ini menjadi pemenang. Pemenang yang menghukum pecundang. Sebuah hukuman nan elok. Akan kujalani hukuman itu.
Lippo Karawaci, menjelang ulang tahun 2005
Purnama Dibalik Cadar
Published :
09.33
Author :
yusufjuliansyah
Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya.
Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.
''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan.
Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku.
''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.
Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku.
Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.
''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.
''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.
''Sedang cari buku apa?''
''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.''
Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak.
''Mas Imran....''
Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu.
Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri.
Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama, pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku menunggu kabar kepulangannya.
Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah, ternyata bukan.
Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan terhadap para demonstran anti-AS di London sehari kemudian, karena di televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup' dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara, bahkan dengan paspor palsu sekalipun.
"Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?" tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London.
Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat. Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran London.
Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung, terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu pada berita-berita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina, seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London. Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah..., Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku.
Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya. Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk, AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya melakukan perang secara terbuka.
Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung.
Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?''
''Ya, saya sendiri. Ini siapa?''
''Ini Salma.''
''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina."
"Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!"
Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan purnama di balik cadarnya!
Kairo-Jakarta, 2002
Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya.
Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.
''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan.
Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku.
''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.
Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku.
Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.
''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.
''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.
''Sedang cari buku apa?''
''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.''
Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak.
''Mas Imran....''
Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu.
Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri.
Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama, pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku menunggu kabar kepulangannya.
Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah, ternyata bukan.
Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan terhadap para demonstran anti-AS di London sehari kemudian, karena di televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup' dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara, bahkan dengan paspor palsu sekalipun.
"Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?" tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London.
Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat. Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran London.
Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung, terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu pada berita-berita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina, seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London. Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah..., Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku.
Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya. Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk, AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya melakukan perang secara terbuka.
Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung.
Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?''
''Ya, saya sendiri. Ini siapa?''
''Ini Salma.''
''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina."
"Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!"
Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan purnama di balik cadarnya!
Kairo-Jakarta, 2002
Kumpulan Cerita Pendek Kisah-kisah hidup manusia
Published :
09.28
Author :
yusufjuliansyah
DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
"Cepat pergi!"
LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.
MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi.
SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan.
"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.*
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
"Cepat pergi!"
LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.
MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi.
SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan.
"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.*
Senin, 11 April 2011
puisi nothing happy ending
Published :
07.05
Author :
yusufjuliansyah
Mungkin kamu enggk tau isi hati ini yang sebenernya..tapi hati ini akan slalu berharap agar kamu tau tujuan hati ini untuk mu..dan mungkin kamu berfikir kalau hati ini enggk akan pernah pantas untuk mu,,tetapi suatu saat nanti kamu akan merasa kehilangan dan sangat membutuhkan ketika hati ini pergi untuk selama-lamanya..
Dan suatu saat kamu akan tau kesungguhan hati ini seberapa besar mencintai mu..
aku hanya bisa terdiam ketika kau pergi dari sisi ku ketika kau pergi dari sampingku..
''Malam malam ku bagai malam seribu bintang yang terbentang diangkasa"
bila kau disini tuk sekedar menemani tuk melintasi wangi yang selalu
tersaji disatu sisi hati..
"Bintang malam katakan padanya"
aku ingin melukis sinarmu dihatinya Embun pagi sampai kan padanya
Biar ku erat waktu dingin membelenggunya
Dan suatu saat kamu akan tau kesungguhan hati ini seberapa besar mencintai mu..
aku hanya bisa terdiam ketika kau pergi dari sisi ku ketika kau pergi dari sampingku..
''Malam malam ku bagai malam seribu bintang yang terbentang diangkasa"
bila kau disini tuk sekedar menemani tuk melintasi wangi yang selalu
tersaji disatu sisi hati..
"Bintang malam katakan padanya"
aku ingin melukis sinarmu dihatinya Embun pagi sampai kan padanya
Biar ku erat waktu dingin membelenggunya
puisi
Published :
06.24
Author :
yusufjuliansyah
Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak, bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka, bukan kekasih namanya jika hatinya tidak pernah merasa rindu dan cemburu. Cinta bukanlah dari kata-kata tetapi dari segumpal keinginan diberi pada hati yang memerlukan. Tangisan juga bukanlah pengobat cinta karena ia tidak mengerti perjalanan hati nurani. Kejarlah cita-cita sebelum cinta, apabila tercapainya cita-cita maka dengan sendirinya cinta itu akan hadir. Cinta seringkali akan lari bila kita mencari, tetapi cinta jua seringkali dibiarkan pergi bila ia menghampiri. Cinta pertama adalah kenangan, Cinta kedua adalah pelajaran, dan cinta yang seterusnya adalah satu keperluan karena hidup tanpa cinta bagaikan masakan tanpa garam. Karena itu jagalah cinta yang dianugerahkan itu sebaik-baiknya agar ia terus mekar dan wangi sepanjang musim.
Minggu, 10 April 2011
Kebudayaan yang Mudah Diterima di Indonesia
Published :
20.47
Author :
yusufjuliansyah
Dewasa ini, bangsa Indonesia tengah berada di dalam masa transisi, yaitu dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sejalan dengan itu, nilai-nilai sosial budaya yang belum sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia juga dapat ikut terserap. Nilai-nilai tersebut dapat berupa sifat, pandangan, paham, dan juga gaya hidup, yaitu egois, materialisme, sekulerisme, ekstrimisme, chauvinisme, elitisme, dan eksklusifisme, diskriminatif, konsumtif, dan glamoristik.
Adanya unsur budaya asing yang masuk akibat globalisasi, sangat berpengaruh terhadap kebudayaan bangsa Indonesia. Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Tentu saja pengaruh tersebut akan menghasilkan dampak yang sangat luas pada sistem kebudayaan masyarakat. Suatu keadaan yang di mana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.Adanya penyerapan unsur budaya luar yang dilakukan secara cepat dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wujud yang ditampilkan dan nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan budaya. Teknologi yang berkembang pada era globalisasi memengaruhai karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial. Uang, misalnya membentuk kegiatan ekonomi sehingga setiap orang dapat memperoleh keuntungan melalui perdagangan. Tanpa uang, kapitalisme juga tak akan dapat berkembang.
Adanya unsur budaya asing yang masuk yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sangat mengkhawatir karena dapat menyababkan terjadinya
kegoncangan budaya. Namun, di sisi lain masuknya unsur budaya asing sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Adanya kemajuan teknologi dan komunikasi menyebabkan informasi yang datang dari luar pun dapat dengan mudah kita terima. Misalnya , lewat radio, televisi, dan lain-lain.
Teknologi memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin menguasai alam. Perkembangan teknologi di Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman, dan Jepang merupakan contoh di mana masyarakat tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar. Keadaan semacam ini disebut modernisasi yang akan berkembang terus sampai melahirkan Era Globalisasi.
Adanya globalisasi menyebabkan unsur-unsur budaya asing akan mudah masuk ke Indonesia. Budaya yang datang dari luar tidak semuanya positif bagi perkembangan dan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Tetapi unsur-unsur budaya asing yang masuk juga ada yang bersifat negatif.
Pada umumnya unsur budaya kebendaan seperti peralatan yang mudah dipakai dan dirasakan sangat bermanfaat, mudah diterima oleh masyarakat. Misalnya, alat tulis-menulis yang banyak digunakan orang Indonesia yang diambil dari unsur-unsur kebudayaan Barat.
Selain itu, unsur-unsur yang terbukti membawa manfaat yang besar seperti radio transitor sebagai alat media massa yang termasuk unsur kebudyaan yang mudah diterima. Unsur-unsur tersebut dengan mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang
menerima. Misalnya, mesin penggiling padi dengan biaya murah dan pengetahuan teknis yang sederhana dapat digunakan untuk melengkapi pabrik penggilingan.
Unsur-unsur asing yang diterima tentunya lebih dulu mengalami proses pengolahan. Unsur-unsur kebudayaan yang sulit diterima oleh masyarakat misalnya unsur-unsur yang menyangkut sistem kepercayaan dan ideologi. Selain itu, unsur-unsur yang dipelajari pada tahap pertama proses sosialisasi misalnya, makanan pokok suatu masyarakat juga termasuk salah satu unsur kebudayaan yang sulit diterima. Dengan globalisasi berbagai unsur kebudayaan yang sangat sulit diterima. Dengan globalisasi berbagai unsur kebudayaan juga akan masuk. Dengan globalisasi berbagai unsur kebudayaan juga akan masuk. Hal ini akan membawa dampak positif dan negatif.
Globalisasi memberikan dampak positif terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui sarana elektronik seperti radio, televisi, dan komputer serta sarana elektronik lainnya globalisasi dapat mempercepat keberhasilan pembangunan di bidang sumber daya manusia. Globalisasi menumbuhkan kinerja yang berwawasan luas dan beretos kerja tinggi pada tiap individu. Selain itu, di bidang sosial budaya globalisasi juga memberikan dampak positif. Globalisasi dapat menumbuhkan dinamika yang terbuka pada individu sehingga tanggap akan adanya unsur-unsur pembaharuan.
Masuknya unsur-unsur globalisasi yang sangat gencar dalam waktu yang relatif cepat akan mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan sosial secara berkesinambungan. Hal ini menyebabkan anggota-anggota masyarakat tidak mampu mengukur tindakannya dan dan tidak dapat mengantisipasi arus globalisasi yang sedang berlangsung. Kebimbangan yang dialami masyarakat dapat mendorong perbuatan menyimpang seperti pergaulan bebas, munculnya sifat konsumerisme, dan penyalahgunaan narkotika.
Di dalam masyarakat seringkali terjadi ketidakserasian akan mengakibatkan kegoyahan dan keserasian masyarakat terganggu.
Kini kita telah memasuki era globalisasi, yaitu suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia, batas wilayah bukan lagi merupakan hambatan yang berarti. Bangsa Indonesia memandang era globalisasi sebagai suatu yang wajar dan kita pun menyadari bahwa keterbukaan dan masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil budaya bangsa lain yang secara langsung ataupun tidak langsung akan membawa serta nilai-nilai asing ke dalam masyarakat Indonesia.
Adanya perkembangan komunikasi akan memudahkan hubungan antarbangsa di dunia ini dalam intensitas yang cukup tinggi. Sehingga menyebabkan terjadinya proses akulturasi. Akulturasi terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri-sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri. Dengan adanya globalisasi proses akulturasi pastinya juga akan terjadi. Era globalisasi menghadapkan tantangan global seperti kekuatan ekonomi, sosial budaya dan militer asing yang berkembang pesat.
Begitu besar peranan media dan teknologi dalam memengaruhi pemikiran individu ataupun kelompok maka tidak aneh lagi bahwa para teknokrat selalu mengupayakan sistem informasi melalui teknologi dan komunikasi.
Kemajuan di bidang inilah yang memunculkan era globalisasi. Globalisasi menunjukan perubahan besar dalm masyarakat dunia. Globalisasi yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi telah menghadirkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat dunia. Perkembangannya yang tidak bisa dihindari dan dicegah, telah memajukan kemajuan di bidang teknologi komunikasi yang menghasilkan media massa yang canggih mempermudah terjadinya globalisasi. Proses globalisasi telah menjadikannya budaya semua orang diperkenalkan secara sistematis dan intensif ke seluruh pelosok dunia.
Kebudayaan yang Sulit Diterima di Indonesia
Published :
20.44
Author :
yusufjuliansyah
Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu. Di Indonesia banyak sekali kebudayaan dan kepribadianyang ada, karena seperti yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki banyak sekali suku sehingga dengan sudah sangat pasti kebudayaannya pun berbeda.
Sistem ideologi yang ada biasanya meliputi etika, norma, adat istiadat, peraturan hukum yang berfungsi sebagai pengarahan dan pengikat perilaku manusia atau masyarakat agar sesuai dengan kepribadian bangsa yang sopan, santun, ramah, dan tidak melakukan hal – hal yang dapat mencoreng kepribadian bangsa.
Sistem sosial meliputi hubungan dan kegiatan sosial di dalam masyarakat. Sistem teknologi meliputi segala perhatian serta penggunaanya, sesuai dengan nilai budaya yang berlaku. Pada saat unsur-unsur masing-masing kebudayaan saling menyusup. Proses migrasi besar-besaran, dahulu kala, mempermudah berlangsungnya akulturasi tersebut.
Pada dasarnya masyarakat daerah timur dengan contoh Indonesia, sangat terbuka dan toleran terhadap bangsa lain, tetapi selama masih sesuai dengan norma, etika serta adat istiadat yang ada di Indonesia.
Pada umumnya unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima adalah unsur kebudayaan kebendaan seperti peralatan yang terutama sangat mudah dipakai dan dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang menerimanya. Contohnya : Handphone, komputer, dan lain – lain.
Namun ada pula unsur-unsur kebudayaan asing yang sulit diterima adalah misalnya :
1. Unsur-unsur yang menyangkut sistem kepercayaan seperti ideologi, falsafah hidup dan lain-lain.
2. Unsur-unsur yang dipelajari pada taraf pertama proses sosialisasi. Contoh yang paling mudah adalah soal makanan pokok suatu masyarakat.
3. Pada umumnya generasi muda dianggap sebagai individu-individu yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya generasi tua, dianggap sebagai orang-orang kolot yang sukar menerima unsur baru.
4. Suatu masyarakat yang terkena proses akulturasi, selalu ada kelompok-kelompok individu yang sukar sekali atau bahkan tak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru diantaranya :
1. Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
2. Jika pandangan hidup dan nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai-nilai agama.
3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru. Misalnya sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan baru.
4. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut.
5. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas.
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Kepemilikan Perseorangan Kepemilikan perseorangan merupakan suatu bisnis yang dimiliki oleh seorang pemilik tunggal (sole proprietorship)....
-
Ciri – ciri, Unsur dan Teori Organisasi A. Ciri – ciri Organisasi v Adapun ciri-ciri dari organisasi adalah : 1. Adanya kompo...
-
Banyaknya tanggung jawab seringkali menjauhkan Anda dari jalur menuju hidup bahagia. Ikuti Langkah sederhana berikut untuk menemukan gairah ...
-
RUU informasi dan transaksi elektronik (ITE) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setia...
-
Organisasi-organisasi memiliki karakteristik yang beraneka ragam yang dapat menghasilkan keuntungan dan kerugian masing-masing. Apabila ki...
-
keuntungan dan kerugiannya menggunakan software open source dalam membuat aplikasi Open Source adalah sistem pengembang yang ...
-
Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak, bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka, bukan kekasih namanya jika hatinya ...
-
RENUNGAN KITA SEMUA.. Ayah Menggendong Mayat Anaknya Dari RSCM Ke Bogor Karena Tak Mampu Bay...
-
Layanan Telematika 1. Layanan Telematika : Layanan Informasi (Information Service) Layanan telematika yang pertama adalah l...
-
Setiap orang mendambakan masa depan yang lebih baik ; kesuksesan dalam karir, rumah tangga dan hubungan sosial, namun seringkali kita terb...
Labels
- TELEMATIKA (1)
- TUGAS 3 (1)
- Tugas Analisis Kerja Sistem] Cara membuat WBS (1)
- TUGAS KE -2 (1)
- TUGAS KETIGA (1)